- Back to Home »
- Sentralisasi versus Desentralisasi »
- Sentralisasi versus Desentralisasi
Posted by : Febbriyana awalludin bagen
Jumat, 11 Januari 2013
Sentralisasi
versus Desentralisasi
Berdasarkan
pemikiran di atas, maka kedepan Indonesia harus melakukan relokasi kekuasaan
dari negara ke unit-unit pemerintahan yang lebih kecil, karena itu sudah
merupakan kehendak jaman. Model sentralistis yang selama diprektekkan oleh
pemerintah tidak dapat lagi dipertahankan. Alasan-alasannya antara lain:
a.
Kelemahan
utama konsep sentralistis adalah karena sangat kaku (rigit) sehingga sulit
berartikulasi secara optimal terhadap dinamika lingkungan. Konsep sentralisasi
sulit mengelola berbagai sumberdaya lokal yang sangat beragan dan bervariasi,
karena konsep ini tidak memiliki instrumen yang peka terhadap kemajemukan
(diversity). Pendekatan pemerintahan dilakukan dengana asumsi homogenitas
wilayah, sehingga akan menimbulkan kesenjangan dalam berbagai bidang atau aspek
(antar wilayah, antar lapisan dan natar golongan masyarakat).
b.
Kebijaksanaan
sentralistis secara langsung maupun tidaklangsung telah membatasi kreativitas
sumberdaya pembangunn. Masalah yang dihadapi saat ini adalah bagaimana
menemukan dan merumuskan format yang tepat atau optimaldari relokasi kewenangan
tersebut. Pada satu sisi, sentralisasi mampu menawarkan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahanm. Tetapi pada sisi yang lain relokasi kewenangan
yang dijabarkan dalam bentukkewenangan politik dan administrasi di samping akan
menjawab berbgai kelemahan model sentralistik, juga memiliki kelemahan yang
intensitasnya sangat tergantung kepada kemampuan penegelolaan kemajemukan yang
ada. Konsep atau model yang keliru jelas tidak mampu menghasilkan sinergi dari
berbagai komponen wilayah dan bangsa, tetapi justru akan mendorong timbulnya
perpecahan atau disintegrasi bangsa.
c.
Ketidakmampuan
merumuskan model relokasi kewenangan dimaksud mungkin merupakan jawaban mengapa
sejak diundangkannya UU No.5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah,
tidak pernah diikuti oleh penyusunan PP atau Peraturan Pememerintah yang
mengatur berbagai pasal dalam UU tersebut. Model dan Proses Desentralisasi.
Relokasi kewenangan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah (relokasi/desentralisasi kewenangan politik dan
kewenangan administrasi) merupakan wujud sistem manajemen pemerintahan yang
sangat kondusif terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas Kemandirian
Lokal.
Model
otonomi yang diamanahkan dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
meletakkan otonomi pada Daerah Tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya) merupakan
alternatip sesungguhnya adalah alternatip yang terbaik dibandingkan dengan
berbagai model otonomi yang lainnya, mengingat model ini lebih mendekatkan
birokrasi pemerintahan dengan masyarakatnya, dan yang disebut sebagai
masyarakat lokal hanya ada di desa dan kabupaten. Model otonomi pada Tingkat II
akan memudahkan proses penyaluran aspirasi masyarakat secara lebih luas dan
cepat dan dengan demikian pemberdayaan dengan jalan partisipasi dapat dengan
mudah dilakukan yang pada gilirannya proses demokratisasi sebagaimana hrapan
reformasi dapat diwujudkan. Namun persoalannya sekarang, masih banyak daerah,
terutama para perangkat pemerintahan belum sepenuhnya memahami konsep dasar
otonomi tersebut. Mereka lebih menekankannya pada sasaran penguasaan dan
pemilikan aset dan sumberdaya, sehingga dengan mudah menimbulkan pertentangan
antar wilayah atau antardaerah. Maka dalam kaitan ini otonomi daerah masih
sangat membutuhkan peranan Tingkat I sebagai kordinator, pengawas, dan pengarah
kegiatan pelaksanaan otonomi tersebut .Kelemahan sekaligus kekuatan UU No.22/99
terletak pada banyak Peraturan Pemerintah yang perlu disusun dalam upaya
implementasi amanah UU tersebut. Kualitas semangat reformasi dari penyelenggara
negara akan menentukan apakah hal tersebut akan menjadi kekuatan atau
kelemahan, karena penjabaran dari berbagai pasal kedalam Peraturan Pemerintah
akanmenentukan format sebenarnya dari model otonomi tersebut.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Di
samping itu kemampuan menemukan cara pengelolaan sumberdaya lokal relatif
sangat rendah, sehingga akan menghambat pelaksanaan otonomi apabila tidak
memiliki sumberdaya yang memadai. Berdasarkan hasisl kesilapan daerah yang
disebutkan di atas, dikhawatirkan timbulnya usul pelaksanaan otonomi daerah
menjadi tertunda. Perlu dikemukakan bahwa terdapat kecurigaan di klangan
masyarakat bahwa otonomi daerah sebagimana yang tercantum dalam UU No. 22/1999
hanyalah merupakan upaya Pemerintah Nasional untuk mengulur waktu, karena
memang tidak sepenuhnya berniat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.Hal ini
juga dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan status quo pola pemerintahan
sentralistik yang menghambat terciptanya iklim demokrasi serta upaya untuk
menghambat transparansi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bilamana akumulasi masalah tersebut tidak diantisipasi sedini mungkin dalam
model Otonomi Daerah, maka akan bermuara pada konflik politik yang
berkempanjangan karena dianggap tidak sejalan dengan reformasi.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global.